Wednesday 23 September 2015

Dongeng Millenium Era

Dongeng-dongengan 2015
Alkisah, seorang anak dilahirkan di keluarga petani. Ayah ibunya, petsni tulen. Bercocok tanam padi, kopi, sayur-mayur sudah menjadi agenda tetap tiap tahunnya. Namanya takdir tiada yang tahu. Si anak, bungsu pula dari sembilan bersaudara, tak pernah merasakan kasih sayang sang ayah. Jadilah ibunya yang setia, setia pada sang ayah yang telah tiada. Pun setia pada pekerjaannya.

20 tahunan berlalu. Si bungsu tumbuh menjadi seorang pemuda. Lama ia di kota. Demi mewujudkan harapan sang bunda. Kepulangannya kali ini, tepat saat musim panen tiba. Saudaranya yang lain jauh tersebar di beberapa kota. Hanya ia dan dua saudari yang ada.


Panen kali ini, hujan begitu akrabnya. Kangen melulu pada bumi. Seakan tak henti ingin terus membelai bumi. Akibatnya, penduduk desa kelabakan. Jika saat mentari menggarangkan diri tidak dipanen segera. Alamat padi yang telah diarit, hanyut tersapu banjir. Air dari pegunungan yang mengelilingi desa di sebelah utara dan timur desa tidak kuasa terbendung dalam kali yang tak seberapa.


Jadilah mereka, sang ibu, si bungsu dan salah satu saudarinya memanen sawah perlahan-lahan. Jika diupahi, pemanen yang lihai selesai memanen sawah dua piring dalam hitungan jam. Sayang, sangat sulit mencari tenaga upahan kala cuaca begini rupa.


Ibu merenta, mampu meninggalkan kedua anak di belakang. Bertahun-tahun ditempa alam, kelihaiannya memotong padi tak diragukan. Saudarinya lain lagi. Sebentar-sebentar merehatkan diri. Sakit pingganh dan lain macam. Dan si bungsu, meski teramat lamban sebagai lelaki tetap tersenyum.


Sesekali ia menatap hamparan padi di hadapan. Masih banyak bulir-bulir yang belum ditebas. Di sebelah barat, awan hitam membayangi. Jika malam ini hujan, bisa jadi yang telah tertuai akan sia-sia.


Sanak famili lain yang kebetulan menatap ketiga anak beranak itu, tersenyum. Sebagian lagi tertawa. Betapa tidak, si bungsu kebingungan mengikat padi-padi yang telah disabit. Mencuri lihat pada sang ibu, bagaimana ia mengikat padi tanpa harus putus batang padi lain yang dijadikan tali.


Demi melihat orang-orang tersenyum dan tertawa, sang kakak, menguatkan si bungsu, dan berkata:
"Kau sarjana, dan ini kali pertama kau memegangnya," kata sang kakak menunjuk arit di tangan kanan si bungsu.
"Iya, kak," senyum bungsu mengembang, "jelaslah kalah aku pemuda lainnya dijadikan bandingan."
"Banggalah, engkau masih bisa memegang arit meskipun tidak selihai Ibunda," nasihat saudarinya, "sedangkan apa yang bisa kaulakukan, jauh diatas kebisaan mereka-mereka yang diperbandingkan denganmu."
Aceh, September 2015

2 comments:

  1. Masih ada typo... Kalo bisa sih, jarak antar paragraf dibuat lebih... Agar enak membacanya...

    ReplyDelete